Hari hari
menuju penringatan ulang tahun Republik Indonesia, yang usianya sudah kepala
tujuh lebih, rasa-rasanya semangat kita semakin terbakar oleh kobaran
nasionalisme yang digaungkan di sekolah atau di institusi lainnya lewat lomba
yang berbau kepahlawanan. Serta materi kewarganegaraan yang semakin sering
terngiau di telinga kita.
Kemudian
ditutp dengan upacara bendera yang mengembangkan keperwiraan dan melambungkan
kebanggaan pada negeri tempat berpijaknya kaki.
Mengenang
pemuda-pemuda pemprakarsa bangsa dan cerita di belakangnya. Memeriksa kembali
heroiknya rapat BPUPKI dan pertemuan Panitia Sembilan.
Cemas-cemas
harap dirasa oleh pemuda saat itu, kala pilihan untuk segera memproklamisikan
kemerdekaan bangsa tak sejalan dengan para sesepuh yang tak mau mengambil
resiko.
Atau
perjuangan panjang seorang pemuda yang dibesarkan di sel penjara serta dalam
pengasiang ke penjuru nusantara. Belajar di dalam sepinya pengasingan. Hingga
menjadi jiwa kokoh yang siap memimpin sebuah bangsa.
Itulah
sekarang yang sedang menggema di langit-langit, mendisir di lorong-lorong dan
meyeruak di ruang-ruang jiwa kita. Hari hari menuju pengerekan bendera.
Menit-menit menjelang tangan menempel di alis mata kanan dengan segala hormat.
Dan detik-detik menanti sebuah teriak yang menggelora; merdeka.
Apa
sebenarnya makna kemerdekaan? Kata yang bermakna kebebasan atau rangkaian huruf
berarti akhir dari perjuangan? Bagaimanakah makna kemerdekaan itu hadir?
Bila merdeka bermaksud bebas, keluar
dari rantai besi penjajahan. Berlepas diri dari kukungan erat penguasa zalim
yang memperdaya kekayaan? Atau jangan-jangan kebebasan itu menjadikan orang
yang merdeka di luar, kini terjajah dari dalam. Bebas yang dulu diidamkan
sekarang berbuah liar. Ingin menolak segala aturan paten yang bermuara pada
kebajikan. Dan melebarkan makna bebas jadi seenaknya berbuat tanpa aturan
sedikitpun. Ujung dari kebebasan seperti ini adalah dihalalkannya perkara yang
dilarang. Na’udubillahmindzalik.
Lalu apakah
merdeka dimaknai dengan akhir dari sebuah perjuangan? Maka yang akan terjadi
ialah penjajahan abadi yang dirasa. Tiga ratus lima puluh tahun bukan waktu
yang sebentar. Ribuan perlawanan hebat yang terjadi di seantero negeri tak bisa
dianggap remeh. Beratus pahlawan yang lahir di dalam rahim penjajahan
menjadikan kuku-kuku yang mencengkram kuat kini makin longgar dan terlepas.
Lalu
apa sebenarnya intisari kemerdekaan? Yang tegas terbilang adalah hak segala
bangsa? Atau kekata dalam lisan pejuang yaitu merdeka atau mati?
Mari
kita ingat kembali bagaimana dulu sekali manusia terjajah oleh sebuah sistem.
Bukan fisik yang menerkam mereka tetapi aturan lah yang memperbudak mereka.
Sistim
itu menjarah jiwa-jiwa di lingkungannya. Aturan laten yang mengekang kaki
tangan kehidupan. Menjadi rantai besi yang kuat bagi tawanan di dalamnya.
Memang
sistem itu begitu merugikan? Buktinya mereka ulung dalam berbahasa dan
melantunkan syair. Nyatanya kafilah dagang yang mereka bawa bolak-balik
mengexpor dan import keluar negeri? Kok bisa menjugde sistem ini buruk?
Sistem
ini adalah jahiliyah. Jahiliyah itu bodoh. Bukan berarti mereka tak bisa
menggunakan akal pikirannya. Bukan. Bodoh ketika mereka mengakui bahwa tuhan
sebagai pencipta, pemberi rizki dan pengatur kehidupan. Tetapi malah kepada
patung bisu mereka meminta dan bersimpuh.
Jahiliyah
itu bodoh. Mereka menomerduakan perempuan di kasta paling rendah. Bahkan bagi
mereka membunuh bayi perempuan adalah kebajikan.
Jahiliyah
itu bodoh. Mereka menentukan nasib dengan menggunakan anak panah yang
dititipkan di ka’bah. Dan bersedia membatalkan perjalanan jika anak panah itu
bertuliskan ‘tidak’.
Dan
banyak lagi kebodohan yang melekat pada diri jahiliyyah. Walau masyarakat arab
sejahtera tetapi pola hidup dan pola
pikir mereka salah kaprah. Dan kekeliruan itulah yang dikecam oleh Allah.
Maka
itulah jahiliyyah, sistem yang membelenggu masyarakat hijaz pada masa itu.
Turun temurun mengalir dan mendarah daging di anak cucu mereka. Mengukir di
hati setiap manusia dan menjadi sebuah tradisi.
Lalu
masyarakat yang peduli terhadap penjajah tak terlihat itu berfikir. Mencari
solusi dan sebagian masih suci dengan mengasingkan diri. Apalah arti yang
mereka lakukan jikalau tidak ada sistem baru yang bisa terbuat.
Dari
sini seoran lelaki mulia hadir. Lelaki yang dari awal hingga akhir tak pernah
dusta. Lelaki tanpa cacat dan berpendudukan di masyarakat. Bersahaja dan mulia.
Sosok yang kelak akan membawa sistem baru yang meruntuhkan kebatilan.
Di
mulainya sistem itu dengan sebuah kalimat dasyat yang memerdekakan jiwa-jiwa
dari biang kekufuran. Dua kalimat inilah masyarakat dalam sistem jahiliyah
menolak keras.
Laailahaillallah Muhammadurasulullah.
Persaksian bahwa tiada illah yang perlu disembah, diharap rizki, diikuti
adzabNya. Tiada semua itu kecuali kepada satu Tuhan, Allah.
Serta
nabi Muhammad adalah utusan dari rabb yang memberi rizki dan rahmat. Yang harus
diikuti, difollow semua aktivitas dan
gerak-geriknya.
Dua
kalimat ini menjadikan hati yang sudah mencari-cari kesucian sukarela
bergabung. Juga membuat jiwa yang terborgol oleh kejahiliyahan menolak
mentah-mentah dan membuat orang lain agar enggan menerimanya.
Inilah
dua kalimat yang memproklamasikan kemerdekaan setiap jiwa yang telah diperbudak
ketidakadilan jahiliyah. Terucapnya dua kalimat ini menjadikan mereka berlepas
diri dari seluruh sistem-sistem manapun. Dan hanya terikat pada sistem satu
yang kebaikan semua di dalamnya.
Inilah
makna kemerdekaan sesungguhnya. Terpaut hanya pada satu tokoh tanpa cacat.
Terikat untuk mengikuti ajaran yang dibawanya.
Inilah
arti merdeka yang sebenarnya. Berdiri di atas kaki sendiri tanpa ikatan rantai
penjajah manapun. Merayakan nikmatnya kemerdekaan jiwa dengan menggunakan Tuhan
yang maha tinggi. Bertakbir serta bertahmid.
Perkumpulah
orang-orang merdeka ini yang mampu melepaskan bangsanya dari gangguan penjajah
sesungguhnya. Jajaran pasukan yang bebas jahiliyah inilah yang mampu menembus
lapis-lapis benteng besi. Bersatunya jiwa yang merdeka yang tak memperdulikan
perbedaan ras, suku dan bahasa menjadi sebuah kunci pembuka gerbang
kemerdekaan.
Inilah
merdeka yang didambakan oleh para pejuang yang hatinya telah terlebih dulu
merdeka. Mengidamkan sebuah negara yang bersatu dalam perbedaan di atas sebuah
lantunan indah yang menggema keras diegala ufuk, Allahuakbar. Jiwa-jiwa yang merdeka
ini tunduk pada satu saja, yaitu pencipta langit dan bumi.