Semakin tinggi pangkat semakin
berat pundak
Seringkali saya mendengar keluhan
bahkan umpatan dari mereka yang mulai beranjak menjadi orang besar. Mereka
menyalahkan masalah yang datang dan terkadang bingung akan bagaimana cara untuk
menuntaskan persoalan tersebut. Kemudian muncul resah dan gelisah yang akhirnya
bisa stres dan yang parah bisa saja bunuh diri.
Itulah yang terjadi bila menjadi
orang yang memegang kuasa kuat tapi tidak kuasa untuk menjawab masalah yang
pasti akan mendatangi siapapun orang, terutama orang yang semakin berpangkat
dan berjabatan tinggi.
Sebenarnya itulah hukum alam yang
pasti terjadi pada seluruh orang tanpa terkecuali. Orang miskin mungkin diberi
ujian berupa kekurangan makanan dan sedikitnya perabotan rumah tangga. Pegawai
Negeri Sipil mungkin hartanya mencukupi dan lapang hari liburnya, tapi bisa
jadi permintaan anaknya yang merengek-rengek meminta handphone baru dan makan
yang enak.
Direktur perusahaan punya banyak
sekali uang dan kata-kata yang didengarkan oleh bawahannya. Ujiannya pun
semakin tinggi sebagai memikirkan untung-rugi perusahaan dan persaingan yang
ketat dengan pesaing bisnisnya. Seorang presiden juga pasti mendapat milyaran
uang dari gajinya dan kekuatan penuh mengatur negerinya, namun juga triliunan
keluhan rakyat yang membebani pundaknya. Begitulah seterusnya dari orang
pinggiran hingga penyandang puncak jabatan akan berkalilipat masalah yang akan
datang.
Kehidupan memanglah seperti
perjalanan yang kosong dan hampa. Masalah hadir untuk mewarnai dan memberi rasa
dalam hidup itu sendiri.
Barangkali rumus tersebut tepat
dengan ukuran keimanan sesorang. Makin iman dia makin berat yang menerpanya.
Makin kokoh takwanya pulalah badai masalah semakin banyak datang.
Mualaf yang baru masuk islam
pasti akan merasa tekanan dari lingkungan sekitarnya. Dihindari kedatangannya
dari komunitas yang sebelum islam diikutinya. Bahkan keluarganya belum tentu
merestui dan bisa jadi melakukan serangan yang mendesaknya kembali pada
kekafirannya.
Naik lagi sebagai pengikut sunnah
nabi yang mencoba bermirip-mirip dengan generasi nabi. Berjenggot tebal,
menginngikan kain di atas mata kaki, berpeci dan berbagi senyum dan salam.
Lebih lagi hujatan yang datang. Makin banyak peluru yang menyasar kepada
penganut suatu kebenaran.
Kemudian naik lagi menjadi
seorang penyeru dari kebenaran. Mereka yang paham bahwa ada yang benar dan
sebagian salah serta mau menyuarakan dan mencoba memperbaiki kesalahan akan
dicaci lebih dasyat dan mungkin sudah mulai diteror, dijebak.
Itulah iman, yang kecil diuji dengan
ringan sedang yang tebal dan kuat diuji dengan hujan masalah yang didera.
Dan bukan hanya soal seberapa
besar masalah, tapi bagaimana orang besar dengan masalah yang rumit nan
bertumpuk bisa menyelesaikannya dan orang-orang lain disekitarnya melihat, “oo,
bapak ini santai aja kok tugasnya”. Padahal semua itu telah disembunykan
dalam-dalam, sudah dikubur jauh-jauh.
Orang kecil dengan masalah yang
sedikit ada yang bersuara lantang mengeluhkan bebannya. Mereka terlihat sibuk
dan kerja keras dalam menghadapi beban itu.
Tapi lebih indah memandang orang
yang terlihat enjoy dengan hidupnya, kadang bisa diajak untuk bergurau tapi
kerjakeras dibelakangnya tak banyak orang yang melihat dan tak ingin
diperlihatkan kepada orang.