Langsung ke konten utama

Tukang ngalah


Kalo kita berada di dalam angkutan umum, BRT misalnya, biasanya terdapat stiker peraturan halus. Bunyinya seperti, “anak muda rela berdiri untuk orang yang lebih tua”, atau “sayangi ibumu dengan memberikan tepat duduk kepada ibu hamil”, bener kan? Itu adalah adab dan hormat kita pada mereka yang membutuhkan kursi.
Bertindak kayak gitu wajar dan boleh, why not?. Apalagi mengalah karena kita punya kekuatan lebih untuk berdiri dibanding orang yang sudah berumur. Itupun menjadi satu kebaikan tersendiri, juga menjadi pemecah telor kebisuan suasana kita dengan mereka.
Tapi ada juga anak muda yang masih gagah, kuat, kagak mau ngalah sama lansia yang rambutnya putih atau kulitnya udah keriput. Mereka gengsi untuk berdiri dan egois tidak mau memberikan tempatnya. Alhasil biasanya kondiktur BRT akan mengingatkan agar anak muda itu berdiri.
Nah, kemarin pas di Jogja. Kami sempat dua kali naik bus trans jogja. Dan hal yang unik adalah kita semua (khususnya cowok) adalah tukang ngalah. Sewaktu ada penumpang tua, kita cepet-cepet berdiri dan menawarkan kursi. Kebetulan kita  berempat, dan kebetulan juga kita bersama berdiri.
Saking sukanya ngalah, kita pernah nggak mau duduk saat kursi kosong. Istilahnya menunggu kursi itu penuh dengan penumpang baru. Nggak diduduki blas. Itu terjadi pertama kali naik trans Jogja, hari jumat.
Kita keukeuh dengan klise ‘berdiri di kaki sendiri’. bahkan kalo ada yang berani duduk akan dibilangin nggak bareng tapi kalo dia balik lagi dari tempat duduknya-setelah duduk sebentar-, maka akan dibilang nggak punya pendirian. Yah begitulah kami.
Seorang tukang ngalah tahu, ada yang lebih layak duduk nyaman dari mereka. Tukang ngalah juga mengerti, kalo mereka akan merasa nyaman jika orang lain merasakan nyaman. Itulah dia, sesuatu yang dicari oleh tukang ngalah.