Lebih dari sebulan beberapa perguruan tinggi mengumumkan hasil kelulusan mahasiswa baru. Dari sekian jalur yang disediakan, banyak yang lolos, lebih banyak lagi yang tidak—menurut hitung manual jumlah kelulusan SMA sederajat dibanding jumlah mahasiswa baru tahun lalu. Ada juga perguruan tinggi yang menampung sisa-sisa calon mahasiswa yang belum dapat tempat berlabuh. Namun masih ada juga—kali ini takut bilang lebih banyak—yang mengambil jalan gabyear—berhenti sekolah formal. Ini juga jalan yang saya ambil.
Transisi sebagai pelajar ke gabyear—buat saya—praktis tidak sulit. Berhubung sekolah lama juga menerapkan sistem homeschooling yang lebih leluasa jam pelajarannya.
Yang terasa jomplang adalah perasaan saya, karena ketika masih bergelar pelajar rasanya aman-aman saja. Jika ditanya tetangga masih bisa jawab asal sekolah saya. Namun ketika ditanya, "Masih sekolah?" atau "Kuliah di mana?" terus terang agak bingung jelasinnya dan batin saya terguncang sedikit—malu.
Kemudian saat kemarin sering di Mbah dan bertemu dengan tetangga depan tak jarang mendengar kalimat "Kok ndak sekolah lagi?", "Kok di sawah terus, ngerjain apa, toh?".
Hati rasanya sedikit kesenggol.
Saya juga merasa menjalani aktivitas—selain belajar—seperti tidak produktif, atau tidak seproduktif dulu ketika mengejar materi dan tryout. Melakukan kegiatan domestik rumah tangga juga terbesit, "Nih aku di rumah ngapain? kerjanya cuma cuci-nyapu-masak".
Apalagi ketika saya bosan dan membuka status WhatsApp yang keluar teman-teman saya share kegiatan kuliah online mereka, atau sekadar buku-buku perkuliahan baru yang tebel-tebel itu. Rasanya agak minder.
Kalo saya baca-baca pengalaman gabyear di Twitter, mereka rata-rata sama, dapat tekanan yang berat, dianggap menyia-nyiakan waktu. Mereka juga sering dicibir oleh tetangga, saudara-saudara yang kuliah, om-tante yang—mencoba—peduli dengan hidup kita. Sumpek rasanya, kata mereka. Apalagi di awal-awal.
Fenomena gabyear ini di Indonesia masih dianggap demikian, sedang di beberapa negara maju, gabyear menjadi wajar. Nggak salah.
Menurut Allan Schneitz, penggagas konsep Dream School di Finland, "Lulusan SMA di sini tidak harus langsung kuliah". Mereka yang baru selesai jenjang SMA boleh untuk berhenti pendidikan formal untuk berfikir sejenak apakah perlu kuliah atau tidak. Lanjutnya, "Kuliah atau tidak, mereka akan terus belajar".
Gabyear tidak sama dengan pengangguran. Ada orang yang lulus lalu menganggur tapi konsep gabyear bukan tidak melakukan kegiatan sama sekali. Menurut saya—bisa jadi ini pembelaan semata—kita harus mengganggap setara yang langsung kuliah dan yang ambil jeda. Sama-sama masih belajar, sama-sama berjuang, sama-sama pusing, dan tentunya sama-sama produktif.
Gabyear tentu bukan cuma mengambil libur panjang untuk menghindari belajar. Justru jeda waktu dipakai untuk berfikir mau lanjut belajar apalagi dan harus lanjut belajar atau tidak.
Saya menyarankan bagi kawan yang ambil jeda harus sama sibuknya dengan yang kuliah. Kita sebaiknya punya jadwal sendiri, target pribadi, kalo perlu buat silabus satu semester mau mencapai apa saja. Kalo perlu juga, kita minta kawan untuk menilai hasil gabyear kita.
Berkuliah merupakan hal baik tidak mengambil kuliah sekarang juga baik. Yang sama sekali buruk adalah luntang-lantung tanpa tujuan tanpa arah di jalanan kehidupan. Pilihan jalan tak terbatas bos, tapi jangan sampai lupa hidup ada batasnya.
--
Terimakasih sudah membaca, silakan tinggalkan jejak di komentar atau hubungi penulis di email tertera.