Kalo ada 1 kota yang aku suka tapi selama pandemi absen kukunjungi tentu itu Yogyakarta. Kalo ada tempat yang aku ingin kunjungi, tentu adalah Masjid Jogokariyan. Betapa rindunya aku berkunjung ke sana.
Terakhir aku berkunjung, 15 April 2019. Aku ingat betul tanggal kepulanganku dari magang. Seingat pula dengan potongan kayu yang menjadi pegangan tangga. Ruangan magang seukuran separuh lapangan bulutangkis yang berkarpet hijau dan aula luas berdinding setengah dan lainnya ditutup dengan potongan kayu bersusun sepertinya pagar yang membuat dingin angin begitu terasa. Juga membuat azan terdengar jelas.
Dua setengah tahun sudah aku meninggalkan bangunan itu dan masjidnya, Masjid Jogokariyan.
Lalu, November lalu, ditengah kegundahan hati, perasaan rindu itu muncul. Aku tak pernah serindu itu pada sebuah tempat. Apalagi sebuah masjid.
Sabtu dini hari itu pun tiba, ia datang begitu saja bersama semangat untuk pergi. Pukul 2 persis aku berangkat menuju Yogyakarta menggunakan sepeda motor.
Jalanan ramai dengan bis dan truk yang berpacu melawan malam. Tersebab malam itu pula mereka berjalan, ketimbang berlawanan dengan motor-motor yang berjalan terburu-buru di siang hari.
Waktu bergulir cepat, azan subuh terdengar sebelum aku masuk Yogyakarta, tepatnya masih di kabupaten Magelang. Aku menghentikan motor di masjid biru tepi jalan, mengambil wudu. Aku baru menyadari tanganku mati rasa. Tanganku yang telanjang menerpa angin dingin dini hari sepanjang jalan.
Seusai salat, melanjutkan perjalanan dengan tangan tak merasakan apapun. Dicubit, ditekan, tak terasa.
Aku ingat betul, tanganku mulai merasakan hangat saat segelas jahe panas kupegang dengan kedua tanganku erat-erat. Bukan untuk dimimum, karena panasnya akan membuat mulit terbakar seharian. Tapi untuk membuat tanganku mengaktifkan kembali sensor perasanya.
Jahe panas itu tersaji di angkringan depan Masjid Jogokariyan.
Batinku berteriak, bahagia sekali. Aku kembali, bukan ke rumah, tapi ke masjid ini.
Pertama kali aku ke sini, tahun 2017, kunjungan ke Yogyakarta. Datang sebelum subuh dan duduk di angkringannya.
Kedua kalinya, tahun 2017 mungkin tersisa dua atau tiga bulan, aku mengikuti salah satu kajian yang jamaahnya mengular sampai ke jalan Parangtritis.
Ketiga kalinya, tahun 2018. Berkunjung ke kantor penerbitan yang sejalan dengan Masjid Jogokaryan. Berbincang dengan mereka, yang pada akhirnya menjadi tempat magangku di tahun berikutnya.
Januari 2022, ada rasa kangen yang kembali muncul. Khususnya malam ini. Ingin rasanya kembali ke Yogyakarta, terutama Masjid Jogokariyan.
Entah kapan.