Langsung ke konten utama

Hari ke-9 : Obrolan Sunyi Di Jalan Pulang.

Sore itu jalanan padat, khas waktu pulang kerja. Tak cuma pekerja, pelajar dan orang yang memiliki urusan di kota akan pulang ke rumahnya.

Bus Kota tak jauh berbeda dengan jalannya. Para penumpang berebut tempat duduk saat pintu bus terbuka. Terutama pekerja, mereka ingin tidur sembari menunggu dipanggil nama halte tujuan mereka.

Penumpang yang berebut beragam sekali. Pekerja dengan celana bahan hingga pekerja dengan sandal jepit kusam. Pelajar SD sampai mahasiswa tak berseragam hingga anak kecil yang ikut serta berekreasi orang tuanya.

Setelah sebuah tempat transit yang sesak, para penumpang masuk ke dalam bus, melaju bersama. 

Seperti yang diketahui, tidak semua orang dapat tempat duduk, akan ada lebih banyak pasang kaki yang tegak menahan tubuh yang (mungkin) kelelahan.

Nyaris tidak ada suara, kecuali satu dua obrolan teman sebaya, itupun sering ditegur petugas bus karena mengganggu. Lagu khas Jawa yang terdengar hanya di baris depan dan belakang atau teriakan petugas bis ketika akan sampai di halte berikutnya.

Namun, aku melihat mata mereka saling berbicara satu sama lain. "Obrolan" sore itu dibuka dengan mata seorang anak kecil yang pulang dari pusat perbelanjaan, mungkin sepatu yang dipakainya adalah sepatu yang baru saja dibeli. Matanya seolah berkata, "Duniaku indah sekali!".

Berjarak tak jauh dari sana, ada pelajar SMA. Matanya letih sekali, seperti seharian telah digunakan untuk melihat soal-soal. Namun nuraninya masih kuat untuk menahan diri mengambil tempat duduk yang barusan kosong untuk diberikan ke bapak tua bercelana bahan. Mata letihnya memandang sekitar, berkata dalam sunyi, "Kurang 5 orang yang butuh kursi, kemudian aku akan bergegas mengambilnya".

Ada bapak dengan celana bahan seadanya dan sandal jepit, membawa ransel ukuran besar yang tidak terlalu penuh, mungkin berisi beberapa alat pertukangan. Matanya sayu, berkantong mata tebal hasil begadang bertahun-tahun untuk jaga malam setelah kerja seharian atau sekadar mendengarkan istri dan anaknya bercerita. Matanya memandang dalam ke anak kecil yang ceria itu, "Duduk di sana, nak. Duduklah hingga tulangmu kuat untuk menghadapi hidup. Biar bapakmu bangga kelak". 

Aku sangat membaca sorotan mata bapak tua itu dan hampir semua orang yang menunggu halte tujuannya.