Jawaban dari pertanyaaan ini aku temukan setelah sebulan kuliah dan mengenal dunia perkuliahan serta melihat bagaimana aku yang hampir mati tenggelam di dalam lautan ini. Lagi-lagi kontemplasi atas kejadian-kejadian yang berakhir dengan ucapan Alhamdulillah. Thanks God!
Aku ingin berbagi beberapa hal yang Tuhan berikan padaku lewat penundaan kuliah selama dua tahun kemarin:
Satu saja, Tuhan tahu kondisiku dan ingin menyelamatkanku.
Maret 2020 covid-19 masuk ke Indonesia. Aku sedang menjalani bulan-bulan terakhir sebagai siswa SMA. Ujian Sekolah telah aku lalui dan bulan aprilnya aku akan Ujian Nasional. Di perprojectan, aku benar-benar merancang beberapa hal yang aku anggap wahh saat itu—walaupun kalo diingat lagi sampah juga perencanaannya, aku sangat bersemangat untuk mengeksekusinya.
Namun saat covid-19 datang. Aku harus terhenti. Aku terpukul keras. Hal terbaik yang sudah aku impikan saat keluar dari SMA tidak terlaksana. Padahal itu hal yang ingin sekali aku lakukan, sekali saja.
Gagal.
Juga project-project yang waktu itu aku canangkan. Project podcastku juga terbengkalai.
Lockdown. Aku kaget dengan situasi ini. Mungkin semua orang waktu itu kaget. Aku yang kala itu memiliki target tinggi untuk berkuliah di kampus gajah tak lolos. Praktis pada Agustus 2020 aku gagal, useless, dan mental jatuh. Malu. Pingin tidak bertemu siapa-siapa.
2 tahun berlalu. Aku bersyukur tidak diterima di ujian mandiri manapun. Bayangkan bagaimana aku yang jatuh mentalnya, akademiknya, dan komunikasinya, memasuki dunia kuliah dengan segala tugasnya, lingkungan barunya. Pasti aku bakal “mati” kalo-kalo itu terjadi. Paling tidak sekarat secara mental.
Bayangkan saja, biasanya di SMM satu kelas hanya ber10 maksimal 15 siswa, di perkuliahan satu kelas 45 orang. Semunya orang baru!. Aku saja di sebulan ini masih struggle membina hubungan baru apalagi aku yang rapuh di tahun 2020. Aku tidak terbayang kacaunya.
Adalagi yang aku syukuri. Tuhan memberiku ruang untukku mengenal diriku dan memaafkan diriku.
Aku pergi 7 bulan tanpa hape, menutup diri serapat mungkin dengan semuanya, hingga akhirnya bisa berbicara banyak dengan diri sendiri.
Aku tahu lebih tahu batas diriku. Aku bisa mengenal tubuh yang selama ini membawa diriku, mengenal mental yang selama ini menahkodai senang-sedihku, mengenal kelemahan dan kelebihanku. Paling tidak lebih baik dan lebih intens dari sebelumnya.
Aku juga berusaha memaafkan diriku yang dulu. Semua masa lalu yang menyakitkan, penyesalan melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Aku berdamai dengan itu.
Jelas prosesnya sakit. Sendiri. Tanpa tepuk tangan yang sebenarnya aku cukup haus dengan itu. Tanpa teman dekat yang sungguh aku butuhkan saat itu. Hanya dengan diriku sendiri. Ditemani lingkungan kecil tanpa keriuhan dunia maya.
Alhamdulillah proses sakit telah itu berakhir bahagia. Aku hari ini sudah lebih baik dari 2020.
Terimakasih Rabbi, takdirMu memang sebaik itu padaku. Aku selalu yakin dengan itu walaupun berat.